Prosesi upacara adat Kebo-keboan yang
dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya upacara adat ini
dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya
hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanamPuncaknya prosesinya adalah membajak
sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang bertingkah seperti
kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang mencoba mengambil
bibit padi yang ditanam.
Warga masyarakat Desa Alasmalang berusaha berebut
bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak-balak
maupununtuk keuntungan.
Masyarakat Banyuwangi yang mayoritas
petani menganggap ritual sakral ini sebagai wujud syukur terhadap yang
Maha Kuasa. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau
yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu
beraksi layaknya kerbau di sawah.
Ritual kebo-keboan digelar setahun
sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini
memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18 M. Di
Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual kebo-keboan di
Alasmalang berawal terjadinya musibah brindeng atau pagebluk ( wabah penyakit)
yang berkepanjangan. Yakni jenis penyakit yang menakutkan dan sulit di temukan
obatnya, karena bagi yang terkena pagi maka sorenya akan mati, jika malam
kena paginya akan mati begitulah seterusnya. Kala itu, seluruh warga diserang
penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat
penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah
Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini
mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual “kebo-keboan” dan
mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit
mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual
kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak
melaksanakannya.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan
Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan
dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara
tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu
sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut
masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya
upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura,
menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Sebagaimana upacara pada umumnya,
upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang
harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut:
(1) tahap selamatan di Petaunan;
(2) tahap ider bumi atau arak-arakan
mengelilingi Dusun Krajan; dan
(3) tahap ritual kebo-keboan yang
dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin dalam upacara kebo-keboan ini
bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di
Petaunan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan.
Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider
bumi dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang
ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan upacara adalah:
(1) para aparat Dusun Krajan;
(2) beberapa kelompok kesenian yang
ada di wilayah Alasmalang;
(3) empat orang atau lebih yang
nantinya akan menjadi kebo-keboan dan
(4) warga masyarakat lainnya yang
membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.
Jalannya Upacara
Satu minggu menjelang waktu upacara
kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan
kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya.
Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama
mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu,
aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula
berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera,
pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen
tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap
perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.pada malam harinya para pemuda
menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela
pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut
kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka
mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi
tanaman palawija yang ditanam.
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00,
diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun,
modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini
berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak
panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan
diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang
terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang
kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen,
pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai
ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian
menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di
bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan
sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami
tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera
menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah
kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti
seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat
kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah
untuk menanam benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta
yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut.
Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan
dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa
berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan
yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan
segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun,
para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang
pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang
akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian
kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sebagai catatan, sebelum tahun 1965
pelaksanaan ider bumi tidak hanya mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan
saja, melainkan juga ke arah batu besar yang ada di empat penjuru angin yang
diawali dengan berjalan ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat
menuju Watu Karang, lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju
Watu Naga.
Sesampainya di Petaunan, peserta
upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka
ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa
berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan
pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi
Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan
mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian
wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara
kebo-keboan di Dusun Krajan.
Warga menyambut ritual ini mirip
perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa
kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari
pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam. Sesajen ini dimasak secara
tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur
urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul
di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama
para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan
bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini
mampu memberikan berkah keselamatan.
Kesimpulan
Ritual “ kebo-keboan” merupakan
kekayaan bangsa yang memang harus di lestarikan oleh generasi penerus, siapa
lagi kalau bukan kita ? namun misteri di balik tradisi itu haruslah di kaji dan
di ejawantahkan kepada masyarakat luas, bagaimana nilai – nilai luhur yang
terkandung di dalamnya, adapun hal-hal yang memberakan masyarakat tidaklah
selayaknya di paksakan seperti masalah pendanaan upacara “kebo-keboan”, hal ini
perlu di pertimbangkan sesuai situasi dan kondisi masyarakat saat itu. Agar
budaya yang pada mulanya adalah kebanggaan dan kekayaan bangsa tidak
beralih menjadi kesulitan, kepayahan, dan paksaan bagi masyarakat. Tetaplah
bersikap bijak karena budaya meninggalkan jejak dan kita adalah penerus jejak
itu hingga akhir waktu.
(http://olestyck.wordpress.com/2013/10/05/upacara-adat-kebo-keboan-khas-banyuwangi/)
(http://olestyck.wordpress.com/2013/10/05/upacara-adat-kebo-keboan-khas-banyuwangi/)
0 komentar:
Posting Komentar