Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau
Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan
jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju
yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu
Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang
letaknya di langit ke tujuh.
Perantara dalam upacara ini ialah :
Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja Malawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh Telun dan Hamparung, dengan melalui bermacam-macam rintangan.
Kendaraan yang digunakan oleh Rawing
Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau ialah Banama Balai Rabia, Bulau
Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan jauh menuju Lewu Liau
meli\ewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung,
tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila pelaksanaan
tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat. Pelaksana
di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk lebih memahami
uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :
Pengertian yang Perlu Dipahami
1. Jiwa atau Roh.
a. Jiwa/roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau Semenget.
b. Jiwa/roh orang yang telah meninggal dunia disebut Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla.
1. Jiwa atau Roh.
a. Jiwa/roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau Semenget.
b. Jiwa/roh orang yang telah meninggal dunia disebut Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla.
Prinsip keyakinan Kaharingan
menyatakan bahwa tanpa diantar ke lewu liau dengan sarana upacara Tiwah, tak
akan mungkin arwah mencapai lewu liau. Bila dana belum mencukupi, ada kematian,
pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda menunggu terkumpulnya dana dan
bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung untuk bersama melaksanakan
upacara sakral tersebut.
Upacara besar yang berlangsung antara
tujuh sampai empat puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit,
namun karena adanya sifat gotong royong yang telah mendarah daging, maka segala
kesulitan dapat diatasi. Tumbuh suburnya prinsip saling mendukung dalam
kebersamaan menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam sehingga
kewajiban melaksanakan upacara Tiwah bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan
didukung dan dilaksanakan bersama oleh mereka yang merasa senasib dan
sepenanggungan.
c. Salumpuk Bereng yaitu raga manusia
yang telah terpisah dari jiwa karena terjadinya proses kematian. Setelah
mengalami kematian, salumpuk bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu
pelaksanaan upacara Tiwah, salumpuk bereng dikuburkan terlebih dahulu.
d. Pengertian dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik Layang Jalajan. Untuk selamanya mereka akan menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula Salumpuk liau harus mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai pemilik barang yang barangnya dicuri meninggal dunia.
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik Layang Jalajan. Untuk selamanya mereka akan menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula Salumpuk liau harus mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai pemilik barang yang barangnya dicuri meninggal dunia.
2). Ketidakadilan dalam memutuskan
perkara bagi mereka yang berwewenang memutuskannya, yaitu para kepala kampung,
kepala suku dan kepala adat. Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan
untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.
3). Tindakan tidak adil atau menerima
suap atau uang “Sorok“ bagi mereka yang bertugas mengadili perkara di Pantai
Danum Kalunen (dunia). Mereka akan dimasukkan ke dalam goa-goa kecil yang
terkunci untuk selamanya.
2. Jenis dan Nama Peti Mati :
a. Runi yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian tengahnya dibuat berongga/diberi lubang dan ukuran lubang tengah disesuaikan dengan ukuran salumpuk bereng yang akan diletakkan di situ.
b. Raung yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada tutup peti pada bagian atas.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi empat panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh. Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun akan memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai sandung namun tanpa tiang.
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.
a. Runi yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian tengahnya dibuat berongga/diberi lubang dan ukuran lubang tengah disesuaikan dengan ukuran salumpuk bereng yang akan diletakkan di situ.
b. Raung yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada tutup peti pada bagian atas.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi empat panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh. Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun akan memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai sandung namun tanpa tiang.
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.
Upacara Tiwah adalah upacara sakral
terbesar yang beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapan segala sesuatunya
harus dilakukan dengan benar-benar cermat, karena kalau terjadi kekeliruan atau
pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung
beban berat, diantaranya :
1). Pali akan pambelum itah harian.
2). Tau pamparesen itah limbah gawie toh.
3). Indu kakicas, pambelum itah harian andau.
2). Tau pamparesen itah limbah gawie toh.
3). Indu kakicas, pambelum itah harian andau.
Banyak persyaratan yang harus
dipenuhi, diantaranya harus tersedia hewan korban seperti kerbau, sapi, babi,
ayam, bahkan di masa yang telah lalu persyaratan yang tersedia masih dilengkapi
lagi dengan kepala manusia. Makna persembahan kepala manusia ialah ungkapan
rasa hormat dan bakti para ahli waris kepada salumpuk liau yang siap diantar ke
Lewu Liau. Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila salumpuk liau
telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah kepala yang
dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang dimilikinya kelak. Mereka yang
terpilih dan kepala mereka yang telah dipersembahkan dalam upacara sakral
tersebut, secara otomatis Salumpuk liau-nya akan masuk Lewu Liau tanpa harus
di-tiwah-kan walau keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun
di masa kini hal tersebut telah tidak berlaku lagi. Kepala manusia digantikan
oleh kepala kerbau atau kepala sapi.
Pelaksana upacara sakral
1. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia. Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi manusia.
1. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia. Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi manusia.
Tidak setiap orang sekalipun berusaha
keras, mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya
orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat dijadikan
pedoman kemungkinannya seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa
menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir
bungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses
kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku
anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia pun banyak mengalami
peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi lingkungannya.
2. Basir.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih, dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih, dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.
3. Telun atau Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan. Telun bertugas hanya akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan. Telun bertugas hanya akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.
4. Mahanteran
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan Rawing Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan Rawing Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare
Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Diawali dengan musyawarah para Bakas
Lewu , yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan Upacara
Tiwah , sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui dan
dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih
dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk liau yang
akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk liau
yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah ditentukan dengan
pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi “Bakas Tiwah” .
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah
pembicaraan lebih detail dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain
menyangkut jumlah kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga
yang telah menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah
konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama
memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau
Balian.
Di samping ditawarkan
kebutuhan-kebutuhan upacara Tiwah sesuai dengan kemampuan masing-masing
keluarga salumpuk liau, masih ada beberapa persyaratan yang wajib harus
disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal wajib menyediakan seekor
ayam untuk setiap Salumpuk liau. Upacara diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan
waktu pelaksanaan ditentukan musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua
keluarga berkumpul di rumah Bakas Tiwah.
Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.
Di hari kedua ini alat-alat musik
bunyi-bunyian seperti gandang, garantung, kangkanung, toroi, katambung dan
tarai mulai dibunyikan. Namun terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua
perkakas yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan
darah binatang yang telah ditentukan.
Pada hari itu pula seorang Penawur
mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk menghubungi salumpuk liau yang akan
diikutsertakan dalam upacara Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohon izin
kepada para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep. Juga
pemberitahuan diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang,
Bulan, Patendu, Jakarang Matanandau.
Mereka yang hadir dalam acara tersebut
berbusana Penyang Gawing Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat
Sangkurat, Benang Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau
Lawung Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat dohong
Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja. Ketika
bendera dinaikkan di atas sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau
perempuan, tua, muda, berdiri mengelilingi sangkaraya, dilanjutkan Menganjan
untuk menyambut dan menghormati para Sangiang yang telah hadir bersama mereka
untuk mengantarkan Salumpuk liau menuju Lewu Liau.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah tersebut digunakan
untuk menyaki dan memalas semua orang yang berada dalam kampung tersebut, juga
memalas batu-batuan, pangantuhu, minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu,
rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau serta semua peralatan yang digunakan
dalam upacara Tiwah itu. Di samping untuk memalas, darah binatang korban tadi
juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga
ke arah mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah
dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh
dari segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.
Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.
Setelah itu di dekat Sangkaraya
didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera yang maknanya pemberitahuan
kepada siapapun yang datang ke kampung tersebut bahwa dalam kampung tersebut
sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu
lintas umum. Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam
pesta Tiwah, antara lain belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki
di kampung itu. Tidak mentaati aturan, resiko tanggung sendiri. kemungkinan
ditangkap, pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong
kepalanya sebagai pelengkap upacara Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas
gong, sambil manangking Dohong Nucung Dandang Tingang. Pertama-tama penawur
berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia untuk
memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan diantarkan ke Lewu
Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Sangiang, Jata, untuk memohon
perlindungan bagi semua sanak keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para
hadirin yang hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit penyakit
serta jauh dari kesusahan selama terlaksananya upacara Tiwah tersebut.
Komunikasi selanjutnya ditujukan
kepada setan-setan, kambe dan jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara,
jangan sampai terjadi kematian mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi
tulah malai dan jangan sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni
Tumbang Lawang Langit dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan
datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral
tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang di diatas
tempat upacara Tiwah berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan
kampung itu.
Kemudian pada bangunan Balai Pangun
Jandau diletakkan sebuah gong yang berisi beras kuning, rokok, sirih, maksudnya
sebagai parapah bagi tamu-tamu dan para ahli waris Salumpuk liau yang sedang
di-tiwah-kan juga diikat Sulau Garanuhing.
Selanjutnya penawur berkomunikasi
kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu “Raja Pali“ Sang Penguasa segala bentuk
larangan yang harus ditaati penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin
pelaksanaan Tiwah yang dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud
untuk menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.
Proses selanjutnya didirikan Hampatung
Halu, yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada
tanah perbatasan kampung dimana upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan
perkampungan lain yang tidak sedang mengadakan upacara Tiwah. Sejak hari itu
hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas waktu
pelaksanaan hukum pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.
Adapun larangan-larangan itu adalah
sebagai berikut :
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom.
12. Pali makan Mahar.
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom.
12. Pali makan Mahar.
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.
Selain larangan menyantap beberapa
jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi
perkelahian maka mereka yang berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah
Jipen ije dan kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk menyaki mereka
yang berkelahi.
Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.
Kanjan diawali oleh empat orang.
Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Pada hari ini pula hewan-hewan yang
dikorbankan yaitu kerbau atau sapi diikat di sapundu dan mereka yang hadir
mengelilingi sapundu tersebut, menganjan tanpa henti baik siang maupun malam.
Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng mulai dibuat,
yang setelah siap terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi.
Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari
mereka yang lalu lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib menyerahkan
sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya.
Kemudian Talin Pali diputuskan.
Sebuah Tajau atau belanga dengan
ukuran besar dan mahal harganya diletakkan disamping patung besar yang terbuat
dari kayu, namanya Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang
Pehuk Barahan. Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh
karena itu siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit
ketujuh wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan
binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak
masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan
yang akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau
yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi
lagi, bambu dan daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di
dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.
Puncak Upacara
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah,
Basir dikenakan pakaian khusus yang memang telah dipersiapkan untuk upacara.
Penawur dan masyarakat yang hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di
Balai. Basir dan Balian didudukkan diatas Katil Garing dan siap memegang
sambang/ ketambung . Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang,
serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang
artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin terjadi
selama prosesi sakral berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta
oleh Hatalla dengan perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang
melaksanakan upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa,
gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah
Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah
dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak
begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji keberaniannya.
Begitu rombongan tamu turun dari lanting
rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek
pantan. Batang kayu bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada
tiang setinggi pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu
yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang,
tujuan kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.
Kemudian rombongan tamu akan menjawab
pertanyaan tersebut bahkan tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang
pernah mereka lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas
Tiwah meminta kepada para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di
depan mata mereka. Bila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah
para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang
menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan bergabung.
Hari ketujuh yang disebut hari
manggetu rutas pakasindus yaitu hari melepaskan segala kesialan kawe rutas
matei, pada hari ketujuh inilah salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu
Liau diawali dengan penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada
binatang korban yang telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana
masyarakat yang hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.
Tidak setiap orang diperkenankan menikam
binatang korban, semua ada aturannya.
Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban yang telah ditombaknya.
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban yang telah ditombaknya.
Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu
tarian kanjan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue
dilanjutkan acara masak memasak mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring,
Pampahilep, Sangkanak, kambe, burung bahotok, burung papau, burung Antang.
Ada ketentuan cara memberi makan
kepada mereka yang tidak terlihat mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah
ditujukan kepada salumpuk liau yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke
arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah
belakang ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang
ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan,
Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan
kembali masyarakat yang hadir berkumpul.
Tibalah saatnya salumpuk bereng
digali/diambil dari tempat penyimpanan sementara. Tulang belulang yang
ditemukan dikumpulkan, dan pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau
pambak atau sandung . Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau
hapuar. Upacara dianggap selesai apabila seluruh prosesi upacara telah
dilaksanakan lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega
karena telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang
yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu
Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian
diberi kesempatan beristirahat namun hanya sehari saja karena setelah itu acara
akan dilanjutkan lagi selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan
yang juga dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa
syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang
telah hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan
yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka
selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian
Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada
Hatalla.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada
Basir, Balian, Mahanteran dan Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara
dalam semua prosesi upacara demi mengantarkan salumpuk liau ke lewu liau, tanda
mata diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara
akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah
turut hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan mereka sampai
ketempat yang dituju.
Balian Balaku Untung
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta umur panjang, banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla. Permohonan kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing Tempun Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing Bungai.
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta umur panjang, banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla. Permohonan kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing Tempun Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing Bungai.
Dalam upacara ini persyaratan yang
lazim disediakan ialah bawui buku baputi atau babi kerdil yang berwarna putih.
Namun boleh juga kerbau atau sapi. Setelah segala macam persyaratan dan sesajen
disiapkan, upacara segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur, yang dengan
sarana beras, menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan seorang
penawur, mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya untuk menyampaikan
kepada Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun ke bumi untuk menyampaikan
persembahan mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur
pula mereka memohon izin kepada salumpuk liau atau jiwa-jiwa orang yang telah
meninggal dunia bahwa di bumi sedang diadakan upacara Balian Balaku Untung.
Juga disebutkan alasan upacara tersebut mereka adakan. Adapun alasannya karena
sebagai manusia yang masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum Kalunen,
mereka masih membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik
menuju ke tempat Mantir Mama Luhing Bungai di Batang Danum Jalayan di langit
ketiga yaitu di negeri Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan dilaksanakannya
upacara adat tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya,
kemudian beberapa Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang
itulah yang nantinya menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali
terlibat dalam melaksanakan tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia
menjadi perantara tersebut akan langsung turun ke bumi dan memasuki rumah
tempat upacara dilaksanakan. Mereka tidak lama berada di rumah tersebut karena
harus segera mengantarkan korban persembahan serta permohonan manusia ke
hadirat Penguasa Alam. Mereka naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui
empat puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan
embun, barulah mereka mencapai langit pertama, lalu langit kedua dan
seterusnya. Setiap langit ada penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga gerbang
berhak pula menerima sesajen yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila
sesajen diterima dengan baik, lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau
Untung Panjang . Lalu mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang setiap
lapisan langit bergabung dalam rombongan untuk turut serta mengantarkan Bulau
Untung Panjang menuju Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati
lapisan langit, jumlah rombongan menjadi semakin besar karena dari setiap
langit yang dilalui, seorang sangiang akan turut serta. Dengan demikian setelah
mencapai langit keenam, jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing
Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang.
Menjelang pintu ke tujuh, Raja Anging Langit telah menunggu di depan pintu
gerbang langit ke tujuh untuk mengucapkan salam. Bersama Raja Anging Langit,
turut serta Indu Sangumang yang nantinya akan bertugas mengetuk Pintu Tahta
Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh,
lalu ke Tasik Malambung Bulau, Tumbang Batang Danum Kamandih Sambang, Gohong
Rintuh Kamanjang Lohing tempat tinggal Tamanang Handut Nyahu dan Kereng
Tatambat Kilat Baru Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu Gohong Nyarabendu Kilat,
tempat Raja Sapaitung Andau. Baru kemudian menuju Bukit Bulau Nalambang Kintan
Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu
Harende Kereng Sariangkat Kilat. Disinilah Banama Tingang , kendaraan berbentuk
perahu yang mereka tumpangi berhenti. Hanya tiga dari rombongan Sangiang
tersebut yang melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai
di tempat tersebut dan harus bersabar menantikan ketiga temannya melanjutkan
perjalanan menuju Tahta Ranying Hatalla. Sambil membawa Bulau Gantung Panjang
atau Batun Bulau Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga lapisan langit,
ketiganya menuju ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung Langit,
untuk membersihkan Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi
menuju Bukit Garinda Hintan tempat Angui Bungai Tempulengai Tingang, lauk Angin
Manjala Buking Tapang untuk mangarinda Bulau Batu Untung. Setelah itu dengan
menumpang Lasang Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju cepat, mereka menuju
Bukit Hintan Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit. Di sana
mereka membuka gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh ( . . . tidak terbaca,
ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu,
kemudian masuk dan menghadap Singgasana Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon
berkat bagi Bulau Batu Untung (. . . tidak terbaca, ns.) setelah berkat
diberikan mereka kembali menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan di tempat
tersebut telah menunggu 40 Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu
Untung pada kendarah cinta kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan
apapun jua. Dengan demikian proses tugas para Sangiang telah selesai dan mereka
kembali ke dunia dengan melalui tujuh lapisan langit, empat puluh lapisan
embun, langsung menuju rumah di mana upacara sedang berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya
kepada perantara dalam hal ini balian, maka para Sangiang pamit untuk kembali
ke tempat mereka masing-masing, namun terlebih dahulu mereka menyantap sesajen
yang telah disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan
tersebut dikabulkan atau ditolak dengan cara sebagai berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan
rotan yang panjangnya tujuh depa dan beras tujuh sukat. Panjang rotan
benar-benar telah diukur oleh tukang tawur atau balian, panjangnya tujuh depa
dengan disaksikan oleh banyak orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat.
Setelah upacara selesai, diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan
menjadi lebih panjang yaitu lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran
semula, begitu juga jumlah beras lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan
mereka diterima dengan baik. Permohonan telah dikabulkan. Akan tetapi apabila
setelah diukur kembali panjang rotan kurang dari tujuh depa, begitu pula jumlah
beras kurang dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka ditolak.
(http://banuahujungtanah.wordpress.com/2011/01/16/upacara-tiwah-adat-dayak/)
0 komentar:
Posting Komentar