Setiap memasuki bulan Muharam atau
tahun baru Hijriyah, masyarakat Kota Pariaman menggelar perayaan tabuik.
Perayaan membuat dan membuang ke laut keranda yang dihiasi menyerupai buraq
(sejenis burung yang membawa nabi Muhammad dalam perjalanan Isra’ Mikraj), ini
menjadi iven tahunan Pemko Pariaman yang disaksikan beramai-ramai oleh
masyarakat dari berbagai daerah, bahkan luar negeri.
Dalam berbagai literatur disebutkan,
perayaan tabuik yang berlangsung 1-10 Muharam itu memperingati meninggalnya
cucu nabi Muhammad yang bernama Husein pada tahun 61 Hijriyah, yang bertepatan
dengan 680 Masehi. Makanya, muncul istilah Oyak Hosen dalam perayaan tabuik, untuk menggelorakan semangat
perjuangan umat Islam dalam menghadapi musuh-musuhnya. Sekaligus ratapan atas
kematian Husein yang dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang
Karbala di Irak.
Tradisi mengenang kematian cucu Nabi
ini menyebar ke berbagai negara dengan cara yang berbeda. Di Indonesia, selain
Pariaman, di Bengkulu juga dikenal pesta tabuik atau tabot. Mengenai asal usul
tabuik Pariaman, ada beberapa versi.
Versi pertama mengatakan bahwa tabuik
dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk
berdagang. Sedangkan, versi lain (diambil dari catatan Snouck Hurgronje),
tradisi tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama
sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa
Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari
Sedangkan, gelombang kedua tabuik
dibawa oleh bangsa Cipei/Sepoy (penganut Islam Syiah) yang dipimpin oleh Imam
Kadar Ali. Bangsa Cipei/Sepoy ini berasal dari India yang oleh Inggris
dijadikan serdadu ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan
Belanda (Traktat London, 1824).
Orang-orang Cipei/Sepoy ini setiap
tahun selalu mengadakan ritual untuk memperingati meninggalnya Husein.
Lama-kelamaan ritual ini diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan
meluas hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Melauboh
dan Singkil.
Dalam perkembangan berikutnya, ritual
itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal
di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan
Tabuik. Di Pariaman, awalnya tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam
bentuk Tabuik Adat.
Pembuatan dan pembinaan Tabuik di
Pariaman dikembangkan oleh Mak Sakarana dan Mak Sakaujana. Merekalah yang
mempelopori Tabuik Pasar dan Tabuik Kampung Jawa. Tabuik Pasar melahirkan
Tabuik Cimparuh, Bato dan Karan Aur, sedangkan Tabuik Kampung Jawa melahirkan
Tabuik Pauh, Jati, Sungai Rotan.
Pada masa kolonial Belanda perayaan
Tabuik digalakkan sehingga Tabuik yang tampil sampai 12 buah. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, tabuik masih rutin dilaksanakan. Hanya
saja pada tahun 1969 sampai 1980 perayaan tabuik terhenti, hal ini
disebabkan situsai yang tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak
adanya keinginan masyarakat untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian masal
yang menggangu ketentraman kota.
Perayaan Tabuik dihidupkan lagi Tahun
1980, yaitu pada masa Pariaman dipimpin oleh Anas Malik, mengingat pembiayaan
maka tabuik dibuat Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua Tabuik itu sampai
sekarang bertahan untuk ditampilkan pada saat upacara Tabuik berlangsung.
Hari ini pesta tabuik kembali
dilaksanakan. Diprediksi ribuan orang akan mengunjungi Pariaman pada puncak
perayaannya 10 Muharam (25 November) nanti. Yaitu, saat tabuik dibuang
bersama-sama ke laut dengan segala prosesinya.
( http://inioke.com/Berita/2741-Ini-Sejarah-Tabuik-Pariaman.html)
0 komentar:
Posting Komentar