Umat
Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma,
Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara
bertahap.
|
Menyucikan Diri
|
Perkawinan pada hakikatnya adalah
suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali
dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2
disebutkan "Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang
gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma
juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian
banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja
yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke
dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di tas, karma
hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha
karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya
dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur.
Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia
suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian
disebutkan dalam Slokantara.
Perkawinan umat Hindu merupakan suatu
yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan
oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan
rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli
atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan
dapat dilihat dengan jelas.
Pasangan yang tidak cocok (secara
rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat
dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah
jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi,
namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi,
seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan,
kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani
sebagai dasar pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi
seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan
dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih
banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu
amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi
nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti
kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan
derajat rohani.
|
Makna dan Lambang
|
UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya
suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat
Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut "Mekala-kalaan"
(natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini
dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral
kekuatan "Kala Bhucari" sebagai penguasa wilayah madyaning mandala
perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata "kala" yang berarti
energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu
keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan
pengantin yang biasa disebut dalam "sebel kandel".
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai
sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi
kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan
mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala
Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan
sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian,
sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla
(spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
|
Peralatan Upacara Mekala-kalaan
|
1.
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa
dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang
Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol
pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan
prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara
Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
2.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
3.
Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
4.
Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
5.
Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12
hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12
tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut
sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini
sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap
untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam
Grhasta Asrama.
6.
Tegen - tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan : - batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis. - Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma - Periuk simbol windhu - Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi) - Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
7.
Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
8.
Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
9.
Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
10. Sambuk
Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek simbol manik. Mempelai
saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah
itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami
perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing
individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar
kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini
diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
11. Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. |
Setelah upacara mekala-kalaan selesai
dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan
"angelus wimoha" yang berarti melaksanakan perubahan nyomia
kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari
agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan
dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra.
Setelah mandi pengantin dihias busana
agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan
upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir
diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.
(sumber: http://undanganku.info/sekilas-perkawinan-adat-bali.html)
|
0 komentar:
Posting Komentar