Semua rumah
tongkonan yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan yang
menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan leluhur
mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti meninggal mereka akan berkumpul
bersama arwah leluhurnya di utara.
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja karena ritual adat terkait
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual mereka dengan leluhur.
Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang
hubungan mereka dengan leluhur.
Tongkonan berasal dari kata tongkon
yang bermakna menduduki
atau tempat duduk.
Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya
bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini
mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat.
Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan
kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja.
Masyarakat Toraja menganggap
rumah tongkonan
sebagai ibu,
sedangkan alang sura
(lumbung padi) sebagai bapak.
Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta
membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian, yaitu bagian utara,
tengah, dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok yang berfungsi
sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat meletakkan sesaji. Ruangan
sebelah selatan disebut sumbung,
merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber
penyakit. Ruangan bagian tengah disebut Sali
yang berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat
meletakkan orang mati.
Ada
nuansa unik dari rumah tongkonan yang luar biasa sekaligus sarat makna.
Perhatikan seksama bagaimana tumbuhan hijau merajalela ada di atas atapnya
justru memperindah tampilan rumah adat ini.
Mayat orang
mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah
tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan
tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum upacara
penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘ dan akan disimpan
dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang berbentuk
kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk bangsawan berbentuk
rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga terlebih dulu disimpan di
alang sura (lumbung padi) selama 3 hari.
Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Ukiran khas Toraja bermakna hubungan masyarakat
Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo
patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi
eksterior maupun interior rumah mereka.
Saat Anda
melihat rumah adat ini, ada ciri lain yang menonjol yaitu kepala kerbau
menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan
setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah
dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi
kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di
sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
Ornamen tanduk kerbau di depan tongkonan
melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan
anggota keluarganya. Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan
mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin
banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status
sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Ornamen rumah
tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu: hitam, merah,
kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tiap
warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna hitam melambangkan
kematian dan kegelapan. Kuning
adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah
adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Dan, putih adalah warna
daging dan tulang yang artinya suci.
Ada beberapa
jenis rumah adat togkonan, antara lain
tongkonan layuk (pesio'aluk), yaitu tempat menyusun
aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan
pekaindoran (pekamberan
atau kaparengngesan),
yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat. Ada
juga batu a'riri
yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan
keluarga serta membina warisan.
Tongkonan
milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian
dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan
beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling
sulur mirip batang tanaman.
Menurut cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.
Rumah
tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian
ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian
tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja
(sumber: http://indonesia.travel/id/destination/477/tana-toraja/article/100/tongkonan-rumah-adat-toraja-yang-mengagumkan)
0 komentar:
Posting Komentar